Pemikiran Budaya Filsafat Orang Jawa
Kita yang sejatinya
berasal dan dilahirkan serta memiliki orang tua dari tanah Jawa seharusnya
mengetahui serta mengenal budaya para leluhur kita. Dari dulu sampai sekarang
budaya jawa seringkali kita pahami sebagai budaya yang berasal dari daerah
tengah dan timur Pulau Jawa. Tidak jarang setiap pemikiran mereka mengandung
makna yang mendalam. Bahwa apa yang dipikirkan mereka tidak jauh dari kehidupan
manusia. Budaya jawa sebagai salah satu aset budaya asli/orisinil Indonesia
yang perlu dilestarikan oleh generasi penerusnya. Apabila masyarakat jawa yang
mulai lupa akan budayanya hanya akan membuat hidupnya tanpa arah dan sangat
sulit untuk mencapai kedamaian dan ketrentraman hidup.
Dalam sebuah filsafat
jawa selalu ada keterkaitan antara budaya dengan agama. Oleh sebab itu tidak
mengherankan bahwa awal mula masyarakat jawa sudah memiliki budaya lokal
(budaya nenek moyang) yang kemudian setelah datangnya agama terjadi akulturasi
antara budaya lokal dengan agama. Sehingga budaya dan agama melebur menjadi
satu maka terciptalah sebuah tradisi atau adat istiadat bagi masyarakat jawa.
Filsafat semacam itu perlu kita pelajari. Disini juga akan menelusuri budaya
yang ada dalam masyarakat Jawa. Acap kali sering mendengar budaya jawa erat
kaitannya dilestarikan oleh orang kejawen.
A.
Falsafah Jawa
Orang Jawa tidak dapat
memisahkan mitos dalam kehidupan mereka . Oleh sebab itu, kita telaah dan
akan coba menguraikan tentang orang jawa
dan latar belakang yang ikut mewarnai pemikiran mereka dalam menafsirkan sebuah
kehidupan ini.
B.
Orang Jawa
Yang dimaksud orang Jawa
oleh Magnis-Susebno adalah orang yang bahasa ibunya bahasa Jawa dan merupakan
penduduk asli bagian tengah dan timur pulau Jawa.
Berdasarkan golongan
sosial, orang Jawa dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu:
1. Wong cilik (orang kecil) terdiri dari
petani dan mereka yang berpendapatan rendah.
2. Kaum Priyayi terdiri dari pegawai dan
orang-orang intelektual.
3. Kaum Ningrat gaya hidupnya tidak jauh
dari kaum priyayi.
Selain dibedakan golongan
sosial, orang Jawa juga dibedakan atas dasar keagamaan dalam dua kelompok
yaitu:
-
Jawa Kejawen yang sering disebut
abangan yang dalam kesadaran dan cara hidupnya ditentukan oleh tradisi Jawa
pra-Islam. Kaum priyayi tradisional hampir seluruhnya dianggap Jawa Kejawen,
walaupun mereka secara resmi mengaku Islam.
-
Santri yang memahami dirinya sebagai
Islam atau orientasinya yang kuat terhadap agama Islam dan berusaha untuk hidup
menurut ajaran Islam.
C. Pandangan
Hidup Orang Jawa
Orang Jawa percaya bahwa
Tuhan adalah pusat alam semesta dan pusat segala kehidupan karena sebelumnya
semuanya terjadi di dunia ini Tuhanlah yang pertama kali ada. Pusat yang
dimakusd disini dalam pengertian ini adalah yang dapat memberikan penghidupan, kesimbangan,
dan kestabilan, yang dapat juga memberi kehidupan dan penghubung dengan dunia
atas.
Pandangan orang Jawa yang
demikian biasa disebut Kawula lan Gusti, yaitu pandangan yang beranggapan bahwa
kewajiban moral manusia adalah mencapai harmoni dengan kekuatan terakhir dan
pada kesatuan terakhir itulah manusia menyerahkan diri selaku kawula terhadap
gustinya.
Sebagian besar orang Jawa
termasuk dalam golongan bukan muslim santri yaitu yang telah mencampurkan
beberapa konsep dan cara berpikir Islam dengan pandangan asli mengenai alam
kodrati dan alam adikodrati. Niels Mulder mengatakan
bahwa pandangan hidup merupakan suatu abstraksi dari pengalaman hidup.
Pandangan hidup adalah sebuah pengaturan mental dari pengalaman hidup yang
kemudian dapat mengembangkan suatu sikap terhadap hidup.
Ciri pandangan hidup
orang Jawa adalah realitas yang mengarah kepada pembentukan kesatuan numinus
antara alam nyata, masyarakat, dan alam adikodrati yang dianggap keramat. Orang
Jawa bahwa kehidupan mereka telah ada garisnya, mereka hanya menjalankan saja. Dasar kepercayaan Jawa
atau Javanisme adalah keyakinan bahwa segala sesuatu yang ada didunia ini pada
hakekatnya adalah satu atau merupakan kesatuan hidup. Javanisme memandang
kehidupan manusia selalu terpaut erat dalam kosmos alam raya. Dengan demikian
kehidupan manusia merupakan suatu perjalanan yang penuh dengan pengalaman-
pengalaman yang religius.
Alam pikiran orang Jawa
merumuskan kehidupan manusia berada dalam dua kosmos (alam) yaitu makrokosmos
dan mikrokosmos. Makrokosmos dalam pikiran orang Jawa adalah sikap dan
pandangan hidup terhadap alam semesta yang mengandung kekuatan supranatural dan
penuh dengan hal-hal yang bersifat misterius. Sedangkan mikrokosmos dalam
pikiran orang Jawa adalah sikap dan pandangan hidup terhadap dunia nyata.
Tujuan utama dalam hidup adalah mencari serta menciptakan keselarasan atau
keseimbangan antara kehidupan makromos dan mikromos.
D.
Keseimbangan Dalam Kehidupaan
Dalam makrokosmos pusat
alam semesta adalah Tuhan. Alam semesta memiliki hirarki yang ditujukan dengan
adanya jenjang alam kehidupan orang Jawa dan adanya tingkatan dunia yang
semakin sempurna (dunia atas - dunia manusia - dunia bawah). Alam semesta
terdiri dari tiga arah utama ditambah satu pusat yaitu Tuhan yang mempersatukan
dan memberi keseimbangan.
Sikap dan pandangan
tehadap dunia nyata (mikrokosmos) adalah tercermin pada kehidupan manusia
dengan lingkungannya, susunan manusia dalam masyarakat, tata kehidupan manusia
sehari-hari dan segala sesuatu yang nampak oleh mata. Dalam menghadapi
kehidupan manusia yang baik dan benar didunia ini tergantung pada kekuatan
batin dan jiwanya.
Bagi orang Jawa, pusat di
dunia ada pada raja dan karaton, Tuhan adalah pusat makrokosmos sedangkan raja
adalah perwujudan Tuhan di dunia sehingga dalam dirinya terdapat keseimbangan
berbagai kekuatan alam. Jadi raja adalah pusat komunitas di dunia seperti
halnya raja menjadi mikrokosmos dari Tuhan dengan karaton sebagai kediaman
raja. karaton merupakan pusat keramat kerajaan dan bersemayamnya raja karena
raja merupakan sumber kekuatan-kekuatan kosmis yang mengalir ke daerah dan
membawa ketentraman, keadilan dan kesuburan.
E.
Kegiatan religius orang Jawa Kejawen
Menurut kamus bahasa
Inggris istilah kejawen adalah Javanism, Javaneseness; yang merupakan suatu cap
deskriptif bagi unsur-unsur kebudayaan Jawa yang dianggap sebagai hakikat Jawa
dan yang mendefinisikannya sebagai suatu kategori khas. Javanisme yaitu agama
besarta pandangan hidup orang. Javanisme yaitu agama besarta pandangan hidup
orang Jawa yang menekankan ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan,
sikap menerima terhadap segala peristiwa yang terjadi sambil menempatkan
individu di bawah masyarakat dan masyarakat dibawah semesta alam.
Niels Mulder
memperkirakan unsur-unsur ini berasal dari masa Hindu-Budha dalam sejarah Jawa
yang berbaur dalam suatu filsafat, yaitu sistem khusus dari dasar bagi perilaku
kehidupan. Sistem pemikiran Javanisme adalah lengkap pada dirinya, yang
berisikan kosmologi, mitologi, seperangkat konsepsi yang pada hakikatnya
bersifat mistik dan sebagainya yang anthropologi Jawa tersendiri, yaitu suatu
sistem gagasan mengenai sifat dasar manusia dan masyarakat yang pada gilirannya
menerangkan etika, tradisi, dan gaya Jawa. Singkatnya Javanisme memberikan
suatu alam pemikiran secara umum sebagai suatu badan pengetahuan yang
menyeluruh, yang dipergunakan untuk menafsirkan kehidupan sebagimana adanya dan
rupanya. Jadi kejawen bukanlah suatu kategori keagamaan, tetapi menunjukkan
kepada suatu etika dan gaya hidup yang diilhami oleh cara berpikir Javanisme.
Sebagian besar dari
masyarakat Jawa adalah Jawa Kejawen atau Islam abangan, dalam hal ini mereka
tidak menjalani kewajiban-kewajiban agama Islam secara utuh misalnya tidak
melakukan sembayang lima waktu, tidak ke mesjid dan ada juga yang tidak
berpuasa di saat bulan Ramadhan. Dasar pandangan mereka adalah pendapat bahwa
tatanan alam dan masyarakat sudah ditentukan dalam segala seginya. Mereka
menganggap bahwa pokok kehidupan dan status dirinya sudah ditetapkan, nasibnya
sudah ditentukan sebelumnya jadi mereka harus menanggung kesulitan hidupnya
dengan sabar. Anggapan-anggapan mereka itu berhubungan erat dengan kepercayaan
mereka pada bimbingan adikodrati dan bantuan dari roh nenek moyang yang seperti
Tuhan sehingga menimbulkan perasaan keagamaan dan rasa aman.
Kejawen dapat diungkapkan
dengan baik oleh mereka yang mengerti tentang rahasia kebudayaan Jawa, dan
bahwa kejawen ini sering sekali diwakili yang paling baik oleh golongan elite
priyayi lama dan keturunan-keturunannya yang menegaskan adalah bahwa kesadaran
akan budaya sendiri merupakan gejala yang tersebar luas dikalangan orang Jawa.
Kesadaran akan budaya ini sering kali menjadi sumber kebanggaan dan identitas
kultural. Orang-orang inilah yang memelihara warisan.
Keagamaan orang Jawa
Kejawen ditentukan oleh kepercayaan mereka pada berbagai macam roh-roh yang
tidak kelihatan yang dapat menimbulkan bahaya seperti kecelakaan atau penyakit
apabila mereka dibuat marah atau penganutnya tidak hati-hati. Untuk melindungi
semuanya itu, orang Jawa kejawen memberi sesajen atau caos dahar yang dipercaya
dapat mengelakkan kejadian-kejadian yang tidak diinginkan dan mempertahankan
batin dalam keadaan tenang. Sesajen yang digunakan biasanya terdiri dari nasi
dan aneka makanan lain, daun-daun bunga serta kemenyan.
Contoh kegiatan religius
dalam masyarakat Jawa, khususnya orang Jawa Kejawen adalah puasa atau siam.
Orang Jawa Kejawen mempunyai kebiasaan berpuasa pada hari-hari tertentu
misalnya Senin-Kamis atau pada hari lahir, semuanya itu merupakan asal mula
dari tirakat. Dengan tirakat orang dapat menjadi lebih tekun dan kelak akan
mendapat pahala. Orang Jawa kejawen menganggap bertapa adalah suatu hal yang
penting. Dalam kesusastraan kuno orang Jawa, orang yang berabad-abad bertapa
dianggap sebagai orang keramat karena dengan bertapa orang dapat menjalankan
kehidupan yang ketat ini dengan disiplin tinggi serta mampu manahan hawa nafsu
sehingga tujuan-tujuan yang penting dapat tercapai. Kegiatan orang Jawa kejawen
yang lainnya adalah meditasi atau semedi. Menurut Koentjaraningrat, meditasi
atau semedi biasanya dilakukan bersama-sama dengan tapabrata (bertapa) dan
dilakukan pada tempat-tempat yang dianggap keramat misalnya di gunung, kuburan,
ruang yang dikeramatkan dan sebagainya. Pada umumnya orang melakukan meditasi
adalah untuk mendekatkan atau menyatukan diri dengan Tuhan.
F.
Spiritualitas Jawa
Sejak jaman awal
kehidupan Jawa (masa pra Hindu-Buddha), masyarakat Jawa telah memiliki sikap
spiritual tersendiri. Telah disepakati di kalangan sejarawan bahwa, pada jaman
jawa kuno, masyarakat Jawa menganut kepercayaan animisme-dinamisme. Yang
terjadi sebenarnya adalah: masyarakat Jawa saat itu telah memiliki kepercayaan
akan adanya kekuatan yang bersifat: tak terlihat (gaib), besar, dan
menakjubkan. Mereka menaruh harapan agar mendapat perlindungan, dan juga
berharap agar tidak diganggu kekuatan gaib lain yang jahat (roh-roh jahat)
(Alisyahbana, 1977).
Hindu dan Buddha masuk ke
pulau Jawa dengan membawa konsep baru tentang kekuatan-kekuatan gaib.
Kerajaan-kerajaan yang berdiri memunculkan figur raja-raja yang dipercaya
sebagai dewa atau titisan dewa. Maka berkembanglah budaya untuk patuh pada
raja, karena raja diposisikan sebagai ‘imam’ yang berperan sebagai pembawa
esensi kedewataan di dunia (Simuh, 1999). Selain itu berkembang pula sarana
komunikasi langsung dengan Tuhan (Sang Pemilik Kekuatan), yaitu dengan laku
spiritual khusus seperti semedi, tapa, dan pasa (berpuasa).
Jaman kerajaan Jawa-Islam
membawa pengaruh besar pada masyarakat, dengan dimulainya proses peralihan
keyakinan dari Hindu-Buddha ke Islam. Anggapan bahwa raja adalah ‘Imam’ dan
agama ageming aji-lah yang turut menyebabkan beralihnya agama masyarakat karena
beralihnya agama raja, disamping peran aktif para ulama masa itu. Para penyebar
Islam “para wali dan guru-guru tarekat” memperkenalkan Islam yang bercorak
tasawuf. Pandangan hidup masyarakat Jawa sebelumnya yang bersifat mistik
(mysticism) dapat sejalan, untuk kemudian mengakui Islam-tasawuf sebagai
keyakinan mereka.
Spiritual Islam Jawa,
yaitu dengan warna tasawuf (Islam sufi), berkembang juga karena peran sastrawan
Jawa yang telah beragama Islam. Ciri pelaksanaan tasawuf yang menekankan pada
berbagai latihan spiritual, seperti dzikir dan puasa, berulang kali disampaikan
dalam karya-karya sastra. Petikan serat Wedhatama karya K.G.A.A. Mangku Negara
IV: Ngelmu iku kalakone kanthi laku.
Lekase lawan kas, tegese kas nyamkosani. Setya budya pangekese dur angkara
(Pupuh Pucung, bait I). Artinya: Ngelmu (ilmu) itu hanya
dapat dicapai dengan laku (mujahadah), dimulai dengan niat yang teguh, arti kas
menjadikan sentosa. Iman yang teguh untuk mengatasi segala godaan rintangan dan
kejahatan.(Mengadeg, 1975).
Di sini ngelmu lebih
dekat dengan ajaran tasawuf, yaitu ilmu hakikat / ilmu batin, karena dijalani
dengan mujahadah / laku spiritual yang berat (Simuh, 1999). Dalam masyarakat
Jawa, laku spiritual yang sering dilakukan adalah dengan tapa, yang hampir
selalu dibarengi dengan pasa (berpuasa).
G.
Puasa dalam Masyarakat Jawa
Pada saat ini terdapat
bermacam-macam jenis puasa dalam masyarakat Jawa. Ada yang sejalan dengan fiqih
Islam, namun banyak juga yang merupakan ajaran guru-guru kebatinan ataupun
warisan jaman Hindu-Buddha. Kata pasa (puasa) hampir dapat dipertukarkan dengan
kata tapa (bertapa), karena pelaksanaan tapa (hampir) selalu dibarengi pasa.
Di antara macam-macam
pasa / tapa, beberapa dituliskan di bawah ini:
*
Pasa di bulan pasa (ramadhan) sama dengan puasa wajib dalam bulan ramadhan.
Sebelumnya, akhir bulan ruwah (sya’ban ) dilakukan mandi suci dengan mencuci
rambut
- tapa mutih = hanya makan nasi selama
7 hari berturut-turut
- tapa mutih berpantang = makan garam,
selama 3 hari atau 7 hari
- tapa ngrawat = hanya makan sayur
selama 7 hari 7 malam
- tapa pati geni = memakai api (geni)
selama sehari-semalam
- tapa ngebleng = tidak makan dan tidak
tidur selama 3 hari 3 malam
- tapa
ngrame = siap berkorban/menolong siapa saja dan kapan saja
- tapa ngéli = menghanyutkan diri di
air (éli = hanyut)
- tapa mendem = menyembunyikan diri
(mendem)
- tapa
kungkum = menenggelamkan diri dalam air
- tapa
nggantung = menggantung di pohon
- dan masih banyak lagi jenis lainnya
seperti tapa ngidang, tapa brata, dll.
Untuk memahami makna
puasa menurut budaya Jawa, perlu diingat beberapa hal. Pertama, dalam menjalani
laku spiritual puasa, tata caranya berdasarkan panduan guru-guru kebatinan,
ataupun lahir dari hasil penemuan sendiri para pelakunya. Sedangkan untuk
mengetahui sumber panduan guru-guru kebatinan, kita harus melacak tata cara
keyakinan pra Islam-Jawa. Kedua, ritual puasa ini sendiri bernuansa tasawuf/mistik.
Sehingga penjelasannya pun memakai sudut pandang mistis dengan mengutamakan
rasa dan mengesampingkan akal/nalar. Ketiga, dalam budaya mistik Jawa terdapat
etika guruisme, di mana murid melakukan taklid buta pada Sang Guru tanpa
menonjolkan kebebasan untuk bertanya. Oleh karena itu, interpretasi laku
spiritual puasa dalam budaya Jawa tidak dilakukan secara khusus terhadap satu
jenis puasa, melainkan secara umum.
Sebagai penutup, dapatlah
kiranya dituliskan interpretasi laku spiritual puasa dalam budaya Jawa yaitu:
-
1Puasa sebagai simbol keprihatinan dan
praktek asketik.
Ciri
laku spiritual tapa dan pasa adalah menikmati yang tidak enak dan tidak
menikmati yang enak, gembira dalam keprihatinan. Diharapkan setelah menjalani
laku ini, tidak akan mudah tergoda dengan daya tarik dunia dan terbentuk
pandangan spiritual yang transenden. Sehingga dapat juga dikatakan bahwa pasa
bertujuan untuk penyucian batin dan mencapai kesempurnaan ruh.
-
2Puasa sebagai sarana penguatan batin.
Dalam
hal ini pasa dan tapa merupakan bentuk latihan untuk menguatkan batin. Batin
akan menjadi kuat setelah adanya pengekangan nafsu dunia secara konsisten dan
terarah. Tujuannya adalah untuk mendapat kesaktian, mampu berkomunikasi dengan
yang gaib-gaib (Tuhan ataupun makhluk halus).
Interperetasi
pertama dan kedua di atas acapkali berada dalam satu pemaknaan saja. Hal ini
karena pandangan mistik yang menjiwainya, dan berlaku umum dalam dunia tasawuf.
Dikatakan oleh Sayyid Husein Nasr, ”Jalan mistik sebagaimana lahir dalam bentuk
tasawuf adalah salah satu jalan di mana manusia berusaha mematikan hawa
nafsunya di dalam rangka supaya lahir kembali di dalam Ilahi dan oleh karenanya
mengalami persatuan dengan Yang Benar” (Nasr, 2000).
Bagi
orang Jawa yang menjalankan syariat Islam. puasa seperti ini dijalankan dalam
hukum-hukum fiqihnya. Islam yang disadari adalah Islam dalam bentuk syariat,
dan kebanyakan hidup di daerah santri dan kauman.
Orang
Jawa percaya bahwa Tuhan adalah pusat alam semesta dan pusat segala kehidupan
karena sebelum semuanya terjadi di dunia ini Tuhanlah yang pertama kali ada.
Tuhan tidak hanya menciptakan alam semesta beserta isinya tetapi juga bertindak
sebagai pengatur, karena segala sesuatunya bergerak menurut rencana dan atas
ijin serta kehendakNYA. Pusat yang dimaksud dalam pengertian ini adalah sumber
yang dapat memberikan penghidupan, keseimbangan dan kestabilan, yang dapat juga
memberi kehidupan dan penghubung individu dengan dunia atas. Pandangan orang
Jawa yang demikian biasa disebut Manunggaling Kawula Lan Gusti, yaitu pandangan
yang beranggapan bahwa kewajiban moral manusia adalah mencapai harmoni dengan
kekuatan terakhir dan pada kesatuan terakhir, yaitu manusia menyerahkan dirinya
selaku kawula terhadap Gustinya. Puncak gunung dalam kebudayaan Jawa dianggap
suatu tempat yang tinggi dan paling dekat dengan dunia diatas, karena pada
awalnya dipercayai bahwa roh nenek moyang tinggal di gunung-gunung.
H.
Ajaran Filsafat Jawa
Banyak ajaran filsafat
yang dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Bisa diambil contoh
misalnya tentang etika, logika dan estetika. Etika mempelajari tingkah laku
danperbuatan manusia yang dilakukan dengan sadar. Ucapan serta hati nurani
manusia dilihat dari kacamata baik-buruk. Etika mengajarkan tentang moral
kesusilaan. Etika menunjukkan bagaimana norma yang baik dan bagaimana manusia
hidup menurut norma tersebut. Apa tantangan yang dihadapi oleh manusia dan
bagaimana pula menjawabnya. Singkat kata, selama ada manusia yang berbuat baik,
maka di situ pula nilai etika tetap berlaku (Sunoto, 1982: 12). Dengan
mempelajari etika sebagai cabang filsafat orang dapat memetik buah yang
berharga bagi diri dan kehidupannya.
Logika adalah cabang
filsafat tentang berpikir. Logika mengajarkan agar manusia berfikir secara
teratur dan runtut serta sistematik agar dapat mengambil kesimpulan yang benar.
Di dalam kehidupan sehari-hari orang selalu mengambil kesimpulan. Agar dapat
mengambil kesimpulan yang benar, maka alat yang digunakan juga harus tepat.
Alat tersebut dapat diperoleh dalam ilmu logika. Karena logika berisi tuntunan
agar dalam mengambil kesimpulan mendasarkan diri atas hukum-hukum tertentu.
Dengan cara mempelajari hukum-hukum tersebut orang akan dapat mengemukakan
pendapatnya serta menyimpulkan dengan tertib, benar, teratur dan logis. Hal ini
akan nampak dalam diskusi, dialog, tukar pendapat, tulis menulis, seminar dan
lokakarya. Mempelajari logika sebagai salah satu cabang filsafat akan besar
manfaatnya.
Estetika adalah cabang
ilmu filsafat yang membicarakan tentang keindahan. Estetika disebut juga
filsafat keindahan atau filsafat seni. Dalam rangka membentuk manusia idaman
dan pentingnya nilai estetika, maka Plato mengemukakan pendapatnya agar musik
menjadi salah satu mata pelajaran. Salah satu mata kuliah yang dianggap penting
oleh Cassiodorus adalah rethorica yaitu seni berpidato. Sepanjang sejarah umat
manusia bidang seni selalu tampil dalam kehidupan dan berperan dalam berbagai
kegiatan. Nyanyian, lukisan, bahasa dan pakaian ikut berperanan dalam berbagai
kegiatan manusia, baik yang bersifat profan maupun sakral. Nilai seni ternyata
sangat berguna bagi manusia dalam melakukan kegiatan hidup sehari-hari.
Menurut filsafat Jawa,
kesempurnaan hidup manusia dihayati dengan seluruh totalitas cipta-rasa-karsa.
Manusia sempurna telah menghayati dan mengerti awal akhir hidupnya. Orang
sering menyebut mulih mula mulanira atau meninggal. Manusia telah kembali dan
manunggal dengan penciptanya, manunggaling kawula Gusti. Manusia sempurna
memiliki kawicaksanan dan kemampuan mengetahui peristiwa-peristiwa di luar
jangkauan ruang dan waktu atau kawaskithan. Dalam pandangan filsafat universal,
hakikat kebenaran semata-mata berorientasi pada aktifitas olah cipta. Sedangkan
dalam filsafat Jawa, hakikat kebenaran lebih berorientasi kepada olah rasa,
yaitu sari rasa jati - sarira sajati, sari rasa tunggal - sarira satunggal.
Berpangkal tolak dari ketajaman spiritual tingkat tinggi ini, maka filsafat
Jawa dapat mengantarkan seseorang menjadi pribadi adimanusiawi. Segala hal yang
berkaitan dengan owah gingsiring jaman dipandang dalam perspektif batiniah yang
benerpener dan genep-genah.
Hakikatnya kehidupan
selalu menjadi refleksi bagi orang Jawa, sebagaimana ungkapan sumusup ing rasa jati, menyelam dalam
esensi kebenaran. Tujuan orang Jawa melakukan refleksi kefilsafatan adalah
untuk mengetahui sangkan paraning dumadi,
yaitu asal mula dan akhir kehidupan. Dalam kitab Jawa Klasik, kerap diulas
secara sistematis mengenai berpikir yang mengarah kepada orientasi manunggaling kawula gusti, dengan
harapan diperolehnya suasana tentram lahir batin. Kitab Negara Kertagama, Wulangreh, Wedhatama dan Sabda Jati
merupakan wahana orang Jawa untuk menuangkan pemikiran kefilsafatan.
Dalam struktur tata
kefilsafatan Jawa dikenal istilah “cipta
rasa karsa”. Cipta merujuk kepada struktur logika yang berupaya untuk
memperoleh nilai kebenaran. Rasa merujuk kepada struktur estetika yang berupaya
untuk memperoleh nilai keindahan. Karsa merujuk kepada struktur etika yang
berupaya untuk memperoleh nilai kebaikan. Cipta-rasa-karsa, logika etika
estetika. dan kebenaran-keindahan-kebaikan merupakan satu kesatuan yang dapat
membuat kehidupan menjadi selaras, serasi dan seimbang seperti prasapa Sultan Agung dalam Serat Sastra Gendhing : mangasah
mingising budi, memasuh malaning bumi. Sebuah tertib sosial yang didukung
oleh hubungan harmonis antara jagad
gumelar (makrokosmos) dan jagad
gumulung (mikrokosmos).
Kebijaksanaan dalam
kehidupan yang dilandasi logika - etika - estetika, cipta - rasa - karsa,
kebenaran - kebaikan – keindahan, dalam filsafat Jawa akan bersemayam dalam
sanubari jalmapinilih, pethingane manungsa, pitatane dumadi. Manusia berjiwa
agung, yang tidak kaget atas segala perubahan sosial, karena dirinya sudah pana
pranaweng kapti, tan samar pamoring suksma, sinuksmaya winahya ing ngasepi.
Hatinya selalu terang benderang. Pambukane warana, sinimpen telenging kalbu,
tarlen saking liyep-layaping aluyup. Layar kesadarannya akan memantulkan aura
kewibawaan. Itulah intisari ajaran filsafat Jawa.
Sehingga setelah menelaah
dan mempelajari filsafat jawa. Patutnya sebagai generasi penerus dapat
mengilhami ajaran-ajaran yang terkandung dalam budaya Jawa serta melestarikan
budaya Jawa supaya di kehidupan ini masyarakat jawa memiliki podeman perilaku
yang sesuai dengan adat istiadat. Dan tidak lupa perlu diingat bahwa didunia
ini masih ada dunia lain (yang sifatnya gaib) sehingga perlu menghargai yang
gaib itu.
Daftra Pusataka
Abbas Hamami, 1997.
Filsafat Ilmu. Yogyakarta : UGM.
Ardhani, 1995. Pemikiran
KGPA Mangkunegoro IV. Semarang : Dahara Prize.
Bakker, 1984. Filsafat
Kebudayaan. Kanisius. Yogyakarta.
Ciptoprawiro, 1986.
Filsafat Jawa. Jakarta : Balai Pustaka.
Fudyartanta, 1974.
Kearifan Timur. Yogyakarta : Andi Ofshet.
Jayasubrata, 1917. Babad
Tanah Jawi. Semarang : Van Dorp.
Koentjaraningrat. 1984.
Kebudayaan Jawa. Jakarta : Balai Pustaka.
Mudhofir, 1988. Kamus
Filsafat. Yogyakarta : Liberty.
Poedjawijatna, 1983.
Filsafat dan Etika Tingkah Laku. Jakarta : Sinar Harapan.
Simuh.
1988. Mistik Islam Kejawen Ranggawarsita: Suatu Studi T erhadap Serat Wirid
Hidayat Jati. Jakarta: UI Press.
Suyamto, 1992. Refleksi
Budaya Jawa. Semarang: Dahana Prize.